Saya berpikir
bahwa pada saat ini Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang dapat
memimpin dengan baik, dalam arti berkompeten dan dapat memberikan gairah hidup
kepada masyarakatnya. Kini Indonesia mempunyai seorang pemimpin baru, Kang Emil begitu beliau akrab disapa adalah seorang Walikota Bandung
yang baru menjalan tugasnya sekitar 1,5 tahun.
Bernama lengkap Mochamad Ridwan Kamil adalah seorang arsitek lulusan ITB dan Master Urban Design dari University of
California, Barkeley. Background-nya sebagai seorang arsitek sangat
mempengaruhi gaya kepemimpinannya sebagai seorang walikota. Pendekatan yang
dilakukan dalam membangun kota Bandung-pun terbilang unik. Disaat banyak
para pemimpin di Indonesia berlomba-lomba mengejar indeks pertumbuhan ekonomi
maka disamping melakukan hal tersebut Ridwan Kamil juga fokus dalam
meningkatkan indeks kebahagiaan warga Bandung.
Dalam momen peringatan KAA (Konferensi
Asian Afrika) ke-60 yang baru selesai digelar di Kota Bandung, saya sangat ingin berbagi
tentang buku yang ditulis sendiri oleh Ridwan Kamil berisi tentang
perjalanan hidup dan berbagai pemikirannya dalam membangun Bandung dan Indonesia di masa
depan.
Judul Buku
|
: Mengubah
Dunia Bareng-Bareng
|
Penulis
|
: Ridwan Kamil
|
Penerbit
|
: PT Mizan
Pustaka
|
Jumlah Halaman
|
: 184
|
Tahun Terbit
|
: 2015
|
Ulasan Buku
Hidup adalah udunan,
sehebat apa pun kita dalam satu hal, kita akan selalu membutuhkan orang
lain untuk mewujudkan sebuah ide dan gagasan sebaik apa pun. Mengapa? Sebab
sekarang bukanlah zamannya mengubah dunia sendirian, tapi zamannya mengubah
dunia bareng-bareng. Begitulah yang tertulis di cover belakang buku.
Buku ini terdiri dari 5 Bab yaitu : 1) Arsitek Kehidupan; 2) Arsitek
Bangunan; 3) Arsitek Komunitas; 4) Arsitek Kota; 5) Arsitek Mimpi. Walapun dibagi menjadi 5 bab pembaca tetap dapat
memilih judul tanpa harus membaca secara urut sesuai bab
Bab pertama, arsitek kehidupan, berisi perjalanan
hidupnya dari kecil sampai beliau mendapatkankan gelar S2. Dari Sub bab Emil
Kecil yang Jahil sampai Sub Bab Cakue
Challenge. Kisah masa kecil, pendidikannya, bertemunya beliau dengan sang
istri, wasiat-wasiat dari ayah dan ibunya ada di bab ini. Inti dari bab ini
adalah bagaimana Kang Emil mendapat nilai-nilai kehidupan.
“Sampai
sekarang saya selalu berusaha mewujudkan pesan ayah: menjadi pemuda yang cerdas
dan peduli. Peduli pada Indonesia, Peduli pada Bandung, Peduli pada kebutuhan
banyak orang”
[Halaman
13]
Bab kedua, arsitek bangunan, menceritakan
sumber-sumber darimana Kang Emil memperoleh ilmu arsitektur, pandangannya
terhadap kesalahan arsitektur masa kini, salah satunya sempitnya ruang sosial
masyarakat, dan bagaimana seharusnya kota dibangun. Bab ini juga sekaligus
menjadi sarana untuk memberikan masukan-masukan terhadap para arsitek.
“Kiamat
planologis sudah di depan mata. Kita harus sama-sama bergerak merespons krisis
ekologis dan krisis sosial, sambil tetap menyeimbangkan kualitas peforma bisnis
yang baik. Good design while going green is good business. Mari berusaha ke
arah sana. Berhasil-tidaknya bukanlah ukuran terpenting saat ini. Minimal sudah
mencoba dan berupaya. Sisanya kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa” [Halaman
50]
Bab ketiga, arsitek komunitas, Kang Emil yang bergabung di berbagai
komunitas paham betul bahwa dalam hidup atau dalam membangun kota atau bangsa
ini tidak bisa dilakukan dengan sendirian. Maka yang menjadi jargonnya bahwa
hidup adalah “udunan” dan Kolaborasi
mengubah dunia bareng-bareng diceritakan dalam bab ini. Bab ini juga
menceritakan karya-karya Kang Emil bersama komunitasnya memberikan berbagai
solusi dari masalah-masalah yang ada seperti Indonesia Berkebun dan Gerakan
Indonesia Bersepeda: bike.bdg.
“Manusia
mesti banyak bergerak, move to somewhere new, agar pikiran segar dan kaya
pengalaman” [Halaman 90]
Bab keempat, arsitek kota, Kang Emil menceritakan pentingnya melakukan travelling. Dari pengalamannya yg telah
berkeliling lebih dari 100 kota diluar Indonesia, disanalah Kang Emil
mendapatkan berbagai inspirasi dan berbagi cerita seperti tren desain urban di
Asia,menyelamatkan peradaban dengan desain, desain urban sebagai alat kolonialisme,
sampai bercerita tentang pembangunan rumah susun di Indonesia.
“Peradaban manusia berkembang dengan
tiga ranah keilmuan: sains (kebenaran), humaniora (keadilan), dan desain
(kecocokan)” [Halaman 133]
Bab kelima, arsitek mimpi, bab terakhir ini dibuka dengan kegundahan Kang
Emil tentang pembangunan kota diberbagai tempat sebagai langkah modernitas yang
kita tumpangi tetapi rapuh dan bocor. Kerisauan juga beliau ceritakan bahwa
perahu modernitas yang kita tumpangi itu telah dibajak oleh orang-orang serakah
dan takabur. Bab ini juga berisi mimpi Kang Emil menjadi Kota Bandung menjadi
Kota Dunia yang tertuang dalam 10 mimpi masa depan Bandung.
“Mungkin
sudah saatnya konsep manusia sebagai pusat dunia yang angkuh bergeser menjadi
manusia sebagai rahmat dunia yang arif, menjadi elemen rahmatan lil ‘alamin”
[Halaman 159]
Penutup
Meskipun Kang Emil beberapa pemikirannya dalam buku ini menggunakan
pendekatan arsitektur akan tetapi mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang
ringan dan lugas. Buku yang bagus sebagai bahan menambah referensi tentang gaya
kepemimpinan ala seorang arsitek Kang Emil.
Pare-Kediri, 26/04/2015
[11.21]