Riki Cahyo Edy

Riki Cahyo Edy

Resensi Buku Ridwan Kamil "Mengubah Dunia Bareng-Bareng"

25/04/15



Saya berpikir bahwa pada saat ini Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang dapat memimpin dengan baik, dalam arti berkompeten dan dapat memberikan gairah hidup kepada masyarakatnya. Kini Indonesia mempunyai seorang pemimpin baru, Kang Emil begitu beliau akrab disapa adalah seorang Walikota Bandung yang baru menjalan tugasnya sekitar 1,5 tahun.

Bernama lengkap Mochamad Ridwan Kamil adalah seorang arsitek lulusan ITB dan Master Urban Design dari University of California, Barkeley. Background-nya sebagai seorang arsitek sangat mempengaruhi gaya kepemimpinannya sebagai seorang walikota. Pendekatan yang dilakukan dalam membangun kota Bandung-pun terbilang unik. Disaat banyak para pemimpin di Indonesia berlomba-lomba mengejar indeks pertumbuhan ekonomi maka disamping melakukan hal tersebut Ridwan Kamil juga fokus dalam meningkatkan indeks kebahagiaan warga Bandung.

Dalam momen peringatan KAA (Konferensi Asian Afrika) ke-60 yang baru selesai digelar di Kota Bandung, saya sangat ingin berbagi tentang buku yang ditulis sendiri oleh Ridwan Kamil berisi tentang perjalanan hidup dan berbagai pemikirannya dalam membangun Bandung dan Indonesia di masa depan.



 

Judul Buku
: Mengubah Dunia Bareng-Bareng
Penulis                
: Ridwan Kamil
Penerbit
: PT Mizan Pustaka
Jumlah Halaman
: 184
Tahun Terbit
: 2015


Ulasan Buku

Hidup adalah udunan, sehebat apa pun kita dalam satu hal, kita akan selalu membutuhkan orang lain untuk mewujudkan sebuah ide dan gagasan sebaik apa pun. Mengapa? Sebab sekarang bukanlah zamannya mengubah dunia sendirian, tapi zamannya mengubah dunia bareng-bareng. Begitulah yang tertulis di cover belakang buku.

Buku ini terdiri dari 5 Bab yaitu : 1) Arsitek Kehidupan; 2) Arsitek Bangunan; 3) Arsitek Komunitas; 4) Arsitek Kota; 5) Arsitek Mimpi. Walapun dibagi menjadi 5 bab pembaca tetap dapat memilih judul tanpa harus membaca secara urut sesuai bab

Bab pertama, arsitek kehidupan, berisi perjalanan hidupnya dari kecil sampai beliau mendapatkankan gelar S2. Dari Sub bab Emil Kecil yang Jahil sampai Sub Bab Cakue Challenge. Kisah masa kecil, pendidikannya, bertemunya beliau dengan sang istri, wasiat-wasiat dari ayah dan ibunya ada di bab ini. Inti dari bab ini adalah bagaimana Kang Emil mendapat nilai-nilai kehidupan.

“Sampai sekarang saya selalu berusaha mewujudkan pesan ayah: menjadi pemuda yang cerdas dan peduli. Peduli pada Indonesia, Peduli pada Bandung, Peduli pada kebutuhan banyak orang”
[Halaman 13]

Bab kedua, arsitek bangunan, menceritakan sumber-sumber darimana Kang Emil memperoleh ilmu arsitektur, pandangannya terhadap kesalahan arsitektur masa kini, salah satunya sempitnya ruang sosial masyarakat, dan bagaimana seharusnya kota dibangun. Bab ini juga sekaligus menjadi sarana untuk memberikan masukan-masukan terhadap para arsitek.

“Kiamat planologis sudah di depan mata. Kita harus sama-sama bergerak merespons krisis ekologis dan krisis sosial, sambil tetap menyeimbangkan kualitas peforma bisnis yang baik. Good design while going green is good business. Mari berusaha ke arah sana. Berhasil-tidaknya bukanlah ukuran terpenting saat ini. Minimal sudah mencoba dan berupaya. Sisanya kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa” [Halaman 50]
 
Bab ketiga, arsitek komunitas, Kang Emil yang bergabung di berbagai komunitas paham betul bahwa dalam hidup atau dalam membangun kota atau bangsa ini tidak bisa dilakukan dengan sendirian. Maka yang menjadi jargonnya bahwa hidup adalah “udunan” dan Kolaborasi mengubah dunia bareng-bareng diceritakan dalam bab ini. Bab ini juga menceritakan karya-karya Kang Emil bersama komunitasnya memberikan berbagai solusi dari masalah-masalah yang ada seperti Indonesia Berkebun dan Gerakan Indonesia Bersepeda: bike.bdg.

Manusia mesti banyak bergerak, move to somewhere new, agar pikiran segar dan kaya pengalaman” [Halaman 90]

Bab keempat, arsitek kota, Kang Emil menceritakan pentingnya melakukan travelling. Dari pengalamannya yg telah berkeliling lebih dari 100 kota diluar Indonesia, disanalah Kang Emil mendapatkan berbagai inspirasi dan berbagi cerita seperti tren desain urban di Asia,menyelamatkan peradaban dengan desain, desain urban sebagai alat kolonialisme, sampai bercerita tentang pembangunan rumah susun di Indonesia.

“Peradaban manusia berkembang dengan tiga ranah keilmuan: sains (kebenaran), humaniora (keadilan), dan desain (kecocokan)” [Halaman 133]

Bab kelima, arsitek mimpi, bab terakhir ini dibuka dengan kegundahan Kang Emil tentang pembangunan kota diberbagai tempat sebagai langkah modernitas yang kita tumpangi tetapi rapuh dan bocor. Kerisauan juga beliau ceritakan bahwa perahu modernitas yang kita tumpangi itu telah dibajak oleh orang-orang serakah dan takabur. Bab ini juga berisi mimpi Kang Emil menjadi Kota Bandung menjadi Kota Dunia yang tertuang dalam 10 mimpi masa depan Bandung.

Mungkin sudah saatnya konsep manusia sebagai pusat dunia yang angkuh bergeser menjadi manusia sebagai rahmat dunia yang arif, menjadi elemen rahmatan lil ‘alamin” [Halaman 159]

Penutup

Meskipun Kang Emil beberapa pemikirannya dalam buku ini menggunakan pendekatan arsitektur akan tetapi mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang ringan dan lugas. Buku yang bagus sebagai bahan menambah referensi tentang gaya kepemimpinan ala seorang arsitek Kang Emil.


Pare-Kediri, 26/04/2015 [11.21]

2 komentar:

Yono mengatakan...

Terima kasih atas resensinya
Saya berniat membeli buku ini, apa masih ada ya di Mizan? Atau di Gramedia ya?

Anonim mengatakan...

Luar biasa isi bukunya... Harus punya versi cetak buku ini saya nih. Thanks resensinya.